bodohnya aku!

Mata ini dipakai untuk melihat, tetapi kamu buta…
Telinga ini dipakai untuk mendengar,
Mendengar berita dan cerita antara kita berdua, tetapi kamu tuli…
Hati ini nyata untuk rasa, ketika satu dari kita terluka,
sakit terasa perih, tapi hanya aku saja…
Jatuh hati
Siapa yang punya hati? Siapa yang
terjatuh?
Hati ini adalah bagian dari
setiap manusia, disaat diperlukan untuk merasakan dia ada. Siapa yang berani
bermain-main dengan hati?
Ah, teor! Sudah pernah merasakan
atau hanya opini saja? Sini aku tarik kupingmu, kubisikan satu kata sopan “bangsat..!”
Bahkan ketika menulis cerita
seperti ini, banyak yang berkata. “oh kamu begitu melankolis merasa sebuah
rasa..” “hei, ini bukan waktunya untuk bawah perasaan begitu dalam, realistis!”.
Puas? Begitu puas melihat manusia
bodoh sendiri? ada beberapa manusia, dari puluhan manusia yang pintar bisa saya
gambarkan perbandingannya sesimple mungkin. Tetapi hanya sedikit manusia, yang
bisa dengan jujur mengakui bahwa dia begitu bodoh, saya salah satunya.
Bodoh karena bermain-main dan
terlibat pada permainan yang diciptakan sendiri, layaknya terbawa peran yang
sudah sampai akhir cerita, garing namun tetap dipaksakan untuk terus tayang
agar ditonton.
Saya adalah bagian orang yang
mendambakan sebuah cerita yang diciptakan sendiri, dan menjadi gila ketika
cerita tersebut tidak pada alur yang sudah saya atur.
Hidup memang seperti itu, kita
tidak pernah tahu akan terjadi seperti apa. Pun kita sudah piawai menebak akan
kemana arahnya tetapi ternyata kita salah.
Salah satu dari sekian peristiwa
yang paling menarik untuk diceritakan adalah ketika pembohong dibohongi. Hahaha,
senyum simpul berasal dari sang pelaku yang terjebak oleh permainannya sendiri.
mudah saja sih untuk segera mengakhirinya, namun tetap saja penasaran untuk
menjadikan cerita sempurna. Padahal sempurna itu, belum tentu indah. Ada beberapa
scene atau bagian yang dibiarkan berakhir tragis, ngambang atau kecewa yang dianggap
adalah sebuah kesempurnaan.
Sempurna disini terlalu naïf jika
diartikan akan berkahir dengan “happy ending”, mungkin itu hanya dimiliki oleh
roman-roman picisan  dan tidak dimiliki
oleh saya sang pecinta ksempurnaan.
Anggap saja saya gagal pada masa
lampau, mengambil keputusan dengan tergesa-gesa padahal perasaan yang saya
miliki bisa saya tarik kembali ketika melihat dan menatap si bodoh. Bijaknya saya
adalah mencoba menjadi tabib yang sakit, tetapi menjadi pesakitan karena energi
dihabiskan untuk si bodoh.  Bodohnya aku!


No comments